GAMPINGROWO ALAS TRIK. BUAH MAJA YANG PAHIT
Om awignam astu namas sidam,[Mugi linupútnå ing rêridhu]
Om nathaya namostute stuti ning atpada ri pada bhatara nityasa,
Sang suksme teleng ing samadhi siwabuddha sira sakalaniskala atmaka,
Sang sriparwwatanatha natha ning anatha sira ta pati ning jagadpati,
Sanghyang ning hyang inisty acintya ning acintya hana waya temah nireng jagat.
Sang suksme teleng ing samadhi siwabuddha sira sakalaniskala atmaka,
Sang sriparwwatanatha natha ning anatha sira ta pati ning jagadpati,
Sanghyang ning hyang inisty acintya ning acintya hana waya temah nireng jagat.
Setelah meruntuhkan kerajaan Tang,
orang-orang Mongol kemudian mendirikan sebuah pemerintahan baru yang
diberi nama Sung (Song). Salah satu anak Jenghis Khan, sang penakluk
kerajaan Cina, bernama Kubilai Khan menjadi raja pertamanya.
Keinginan untuk memperluas pengaruh bangsa Mongol setelah menjajah Cina adalah menundukkan kerajaan-kerajaan lain di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur dengan menggunakan kekuatan militer dan politik.
Caranya dengan meminta para penguasa
lokal untuk mengakui kaisar Mongol sebagai penguasa tunggal dan
mengharuskan raja-raja lokal tersebut untuk mengirim upeti (tribute) kepada kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Raja Kartanagara dari kerajaan Singasari.
Untuk maksud tersebut, Kubilai Khan
mengirim seorang utusan bernama Meng Khi ke Jawa meminta raja
Kartanagara untuk tunduk di bawah kekuasaan Cina. Merasa tersinggung,
utusan itu dicederai wajahnya oleh Kartanagara dan meingirimnya pulang
ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan
raja Mongol.
Perlakuan Kartanegara terhadap Meng Khi
dianggap sebagai penghinaan kepada Kubilai Khan. Sebagai seorang kaisar
yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan
berniat untuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah mempermalukan
bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini
dituliskan dalam beberapa sumber di Cina dan merupakan sejarah yang
sangat menarik tentang kehancuran kerajaan Singasari dan munculnya
kerajaan Majapahit.
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke
Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike
Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua
lainnya adalah orang Mongol.
Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa
20.000 pasukan dan seribu kapal. Kubilai Khan membekali pasukan ini
untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan
perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi:
Fukien, Kiangsi, dan Hukuang.
Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.
Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan.
Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala
tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup
besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan
pelayaran.
Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh.
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese
bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10
kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara
Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi.
Ketika berada di Tuban mereka mendengar
bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang
kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singasari.
Oleh karena perintah Kubilai Khan adalah
menundukkan Jawa dan memaksa raja Singasari, siapa pun orangnya, untuk
mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap
dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali
berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah
Singasari.
Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa
setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki
menuju Singasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan
menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama.
Sebagai seorang pelaut yang
berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari
pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja
sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan bala
tentara Mongol (disebut Tartar) adalah merupakan upaya Bupati Madura,
Aria Wiraraja, yang mengundangnya ke Jawa untuk menjatuhkan Daha.
Aria Wiraraja berjanji kepada raja Mongol
bahwa ia akan mempersembahkan seorang puteri cantik sebagai tanda
persahabatan apabila Daha dapat ditundukkan. Surat kepada raja Mongol
disampaikan melalui jasa pedagang Cina yang kapalnya tengah merapat di
Jawa.
Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya
dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan
Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau
Hsing untuk memimpin pasukan darat.
Beberapa panglima “pasukan 10.000-an”
turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi
diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit setelah
mendengar bahwa pasukan Raden Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa
meninggalkan pasukannya.
Melihat keuntungan memperoleh bantuan
dari dalam, pasukan Majapahit ini kemudian dijadikan bagian dari bala
tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala tentara
asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan
pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan
panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singasari. Ia juga memberikan peta
wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun
strategi perang menghancurkan Jayakatwang.
Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil
(mungkin setingkat provinsi di masa sekarang) turut bergabung dengan
orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat
kuat ketika berangkat dari Cina.
Persengkongkolan ini terwujud sebagai
ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah
membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah
seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke
kerajaan Singasari mulai dilancarkan.
Kekuatan kerajaan Singasari di sungai tersebut dapat
dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal
berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan
pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan
pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada hari
ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun
kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan
Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan Singasari.
Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan
kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Singasari.
Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden Wijaya melakukan pengejaran dan
berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian.
Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Singasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari.
Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar
antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan
dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Singhasri terpecah dua,
sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh
orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000
dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara
gabungan Mongol-Majapahit.
Salah seorang anak Jayakatwang yang
melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan
ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia
mundur dan bertahan di dalam kota yang dikelilingi benteng. Pada sore
harinya ia memutuskan keluar dan menyerah karena tidak melihat
kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini
menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh anggota keluarga raja dan pejabat
tinggi Singasari berikut anak-anak mereka ditahan oleh bangsa Mongol.
Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan
kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh
200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan
persembahan kepada Kaisar Kubilai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua
panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol
menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu.
Setelah itu, dengan membawa pasukan yang
lebih besar, Raden Wijaya menyerang balik orang-orang Mongol dan memaksa
mereka keluar dari Pulau Jawa. Shih Pi dan Kau Hsing yang terpisah dari
pasukannya itu harus melarikan diri sampai sejauh 300 li (± 130
kilometer), sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan
yang menunggunya di pesisir utara.
Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou.
Kekakalahan bala tentara Mongol oleh
orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina.
Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan
bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kubilai Khan juga
pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang.
Akan tetapi kehancuran ini bukan
disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan
badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan
membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di
hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan
membawa tawanan para bangsawan Singasari ke Cina beserta ribuan hadiah
bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan
anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya.
Kitab Pararaton memberikan keterangan
yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh
orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama
setelah ibukota kerajaan Singasari berhasil dihancurkan.
Peristiwa kehancuran Singasari dikabarkan
oleh Kidung Harsawijaya, Kidung Panji Wijayakrama dan Kitab Pararaton:
Peristiwa kehancuran Singasari terjadi tahun 1292. Jayakatwang lalu
menjadi raja, dengan Kadiri sebagai pusat pemerintahannya. Atas saran
Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya
yang datang menyerahkan diri.
Raden Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik untuk dibuka menjadi kawasan wisata perburuan.
Sesungguhnya Aria Wiraraja telah berbalik
melawan Jayakatwang. Saat itu ia ganti membantu Raden Wijaya untuk
merebut kembali takhta peninggalan mertuanya.
Pada tahun 1293 pasukan Mongol datang
untuk menghukum Kertanegara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai
Khan tahun 1289. Pasukan Mongol tersebut diterima Raden Wijaya di
desanya yang bernama Majapahit.
Raden Wijaya yang mengaku sebagai ahli
waris Kertanegara bersedia menyerahkan diri kepada Kubilai Khan asalkan
terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang.
Berita Cina
menyebutkan perang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293. Gabungan pasukan
Mongol dan Majapahit menggempur kota Kadiri sejak pagi hari. Sekitar
5000 orang Kadiri tewas menjadi korban. Akhirnya pada sore harinya,
Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol.
Berita Cina dimaksud adalah
Karya Chou Ku-fei yang berjudul Ling-wai-tai-ta tahun 1178, yang di
dalamnya terdapat gambaran keadaan Jawa di masa kerajaan Kadiri. Buku
ini kemudian dikutip oleh Chau Ju-kua dalam karyanya yang berjudul
Chu-fan-chi, tahun 1225.
Saat itu kerajaan Kadiri sudah dikalahkan
kerajaan Tumapel atau Singasari, juga Sejarah Dinasti Yuan, yang di
dalamnya terdapat kisah pengiriman pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese
untuk menaklukkan Kertanegara raja Singasari (1268-1292).
Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti
diserang balik oleh pihak Majapahit untuk diusir keluar dari tanah Jawa.
Sebelum meninggalkan jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati
Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Pada akhir hidupnya, menurut Pararaton
dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara
Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung
Wukir Polaman.
Adapun menurut Kidung Panji Wijayakrama,
Jayakatwang yang telah menyerah lalu ditawan di benteng pertahanan
Mongol di Hujung Galuh. Ia meninggal di dalam tahanan.
Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan
Jawa harus dibayar mahal olehnya. Ia menerima 17 kali cambukan atas
perintah Kubilai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan
sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa
Mongol tersebut.
Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah
Kubilai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa
setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Khi.
Namun sebagai raja yang tahu menghargai
kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi dipulihkan dan harta
bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam jenjang
tata pemerintahan kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai
meninggal dalam usia 86 tahun.
Setelah Singasari diruntuhkan Raja
Jayakatwang maka Raden Wijaya yang lolos dari penyerangan ke puri
Singasari mencari perlindungan ke Madura yaitu adipati Wiraraja di
Sumenep, hal ini sesuai dengan berita dalam Kidung Panji Wijayakrama,
kitab Pararaton dan sumber primer Prasasti Kudadu berangka tahun 1216Ç/1294M yang di keluarkan oleh Dyah Sanggrāmawijayā Śri Maharajā Kĕrtarājasa Jayāwardhanā Anantawikramottunggadewa, nama nobatan Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit,
Prasasti Kudadu berisi
pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit, dalam
pelariannya menuju Songenep (Sumenep), yang telah ditolong oleh Rama
Kudadu dari kejaran balatentara Jayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi
raja, penduduk desa Kudadu dan Kepala desanya (Rama) diberi hadiah
tanah sima.
Kitab Pararaton mengabarkan:
Raden Wijaya
menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb, bermalam di
tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat, pematangnya tipis.
Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya.
Pagi harinya
melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah
balai panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja
sedang duduk dihadap hamba hambanya.
Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap.
Berangkatlah Raden
Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah Wiraraja melihat
Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah, bubarlah yang
menghadap.
Terhenti hati Raden
Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: “nah, apakah kataku, saya
sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu.”
Maka ia kembali ke
balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap, berbondong bondong
dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama membawa sirih dan
pinang.
Kata Ranggalawe: “Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari.” Maka senanglah hati Raden Wijaya.
Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya.
Wiraraja itu
meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang puteri
bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki, mengiring
puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya.
Setelah datang di
rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap didalam balai nomor
dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat bagaimana sang batara yang
gugur ditengah tengah minum minuman keras itu meninggal dunia, juga
menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: “Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan.”
Raden Wijaya menjawab: “Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas kasihanmu.”
Sembah Wiraraja: “Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan.”
Selanjutnya
Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa
oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya.
Kata Raden: “Bapa
Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku,
akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati
seperduanya, saya seperdua.”
Kata Wiraraja: “bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja.”
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja.
Luar biasa
pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan
makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras.
Lamalah Raden
Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata:
“Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba
kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan
kata kata yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong
tak berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas
pindah bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah dipercaya,
hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya Katong,
hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang akan
menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang
menghadap tuanku dekat.
Adapun maksud
tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat orang orang
raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang penakut, yang
pandai, terutama juga hendaknyalah tuan ketahui sifat sifat Kebo
Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur, hendaknyalah tuanku memohon
diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah diubah menjadi desa oleh
hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: “Jika ada hamba
hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi
kepada tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha
juga, jika mereka ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah
tuan lindungi, jika semua itu sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai
oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim surat kepada raja Jaya
Katong.”
Berangkatlah orang
yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke selatan, menghadap raja
Jaya Katong, mempersembahkan surat itu.
Adapun bunyi surat:
“Tuanku, patik baginda memberi tahu, bahwa cucu paduka baginda mohon
ampun, ingin takluk kepada paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda
maklum, terserah apakah itu diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh
paduka tuan.”
Kata Raja Jaya Katong: “Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami.”
Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya.
Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah.
Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja.
Wiraraja senang.
Segera Raden Wijaya
kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan oleh
orang orang Madura, dan Wiraraja juga menghantarkan kembali di Terung.
Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja Jaya Katong, sangat dicintai.
Ketika ia datang di
Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba hambanya disuruh
oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri
Daha sangat heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora,
Rangga Lawe, Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat
pertandingan di Manguntur negara Daha.
Bergantilah menteri
menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan perjurit utama, yalah:
Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya
kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora.
Lama kelamaan Raja
Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk, “Puteraku Arsa
Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin
melihat, menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu.”
Jawab Raden Wijaya: “Baiklah tuanku.”
Bertandinglah
mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian, orang yang
melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong sering kali
terpaksa lari.
Kata raja Jaya Katong: “Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang berani melawan tuannya.”
Raden Wijaya
berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar
mengejar, kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe
menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari
menteri menteri Daha itu menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada
yang mengadakan pembalasan, lalu bubar.
Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya.
Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar Raden Wijaya memohon hutan orang Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik.
Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit.
Babad Tanah Jawi menceritakan:
Radèn Wijåyå, wayahé Nåråsingå, nuli
umangsah ngêtog kaprawiran mbélani nagårå lan ratuné, nanging wis
kâslêpêk karoban wong Dåhå, mulané banjur kâpêkså ngoncati, mung kari
nggåwå bålå rolas, gênti-gênti nggéndhong Sang Putri garwané Radèn
Wijåyå, putrané Prabu Kârtånagårå.
Lampahé Radèn Wijåyå sasêntanané nusup
angayam alas. Kalêbu wilangan rolas iku ånå satriyané loro, putrané
Wiråråjå, duwé atur marang Gustiné supåyå ngungsi mênyang Mâdurå.
Sang Pangéran mauné ora kârså, nanging
suwé-suwé nuruti. Ånå ing Mâdurå ditampani kalawan bêcik. Rêmbugé
Wiråråjå, Radèn Wijåyå diaturi suwitå mênyang Dåhå. Wiråråjå sing arêp
nglantaraké. Yèn wis kêlakon suwitå Radèn Wijåyå diaturi nyêtitêkaké
pårå punggåwå ing Dåhå, såpå sing kêndêl utåwå jirih, tuhu utåwå lamis.
Yèn wis antårå suwé diaturi nyuwun tanah Trik,
dibabadå banjur diênggonånå. Radèn Wijåyå nurut ing pitudhuh, lan iyå
kâlakon suwitå ing Dåhå. Kacaritå pasuwitané kanggêp bangêt, amargå såkå
pintêré nuju kârså, lan såkå pintêré olah gêgaman; wong sa Dåhå ora ånå
sing biså ngalahaké.
Kabèh piwulangé Wiråråjå ditindakaké,
dilalah Sang Prabu têkå dhangan baé, malah barêng tanah Trik wis
dibabad, Radèn Wijåyå nyuwun manggon ing kono iyå dililani.
Kacaritå nalikå babadé tanah Trik mau, ånå wong kang mêthik woh måjå dipangan, nanging rasané pait. Awit såkå iku déså ingkono mau banjur dijênêngaké Måjåpait.
Barêng Radèn Wijåyå wis manggon ing
Måjåpait, rumångså wis wayahé tåtå-tåtå malês ukum, ngrusak kraton Dåhå,
ananging Wiråråjå akon sabar dhisik, awit isih ngênténi prajurit såkå
nagårå Cina kang arêp ngukum wong Singåsari.
Karêpé Wiråråjå arêp ngréwangi Cinå
baé dhisik, bêsuké arêp mbalik mungsuh Cinå. Wiråråjå banjur boyong
sakulåwargané lan saprajurité mênyang Måjåpait ngumpul dadi siji karo
Radèn Wijåyå.
Wiraraja bukanlah tokoh asing lagi, pada
masa Singasari dia adalah tokoh yang dalam Pararaton berhasil menghasut
Jayakatwang untuk segera menyerang Singasari. Dalam dunia politik dia ahli dalam bidang strategi.
Hal ini terbukti dengan usulan agar Raden
Wijaya berpura-pura menghamba kepada Raja Jayakatwang. Setelah mendapat
kepercayaan, Wiraraja menyuruh agar Raden Wijaya meminta hutan orang
Trik.
Kemudian Wiraraja mengirim orang-orang
Madura dan Raden Wijaya mengerahkan orang Tumapel untuk membuka hutan
tersebut untuk dijadikan desa. Saat pembukaan hutan ada salah satu
prajurit yang lapar lalu memakan buah Maja namun terasa pahit sekali.
Dari kejadian tersebut dinamakanlah desa tersebut Majapahit.
Sesuai sumber Kitab Pararaton dan Kidung
Panji Wijayakrama, lokasi daerah yang diminta Raden Wijaya adalah hutan
belantara yang masuk wilayah orang Trik.
Kekakalahan bala tentara Mongol oleh
orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina.
Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan
bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga
pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang.
Akan tetapi kehancuran ini bukan
disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan
badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan
membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Babad Tanah Jawi mengisahkan:
Ing têngah
têngahané taun 1292 Måhåråjå Choêbilai sidå mangkataké wadyå bålå
mênyang ing Tanah Jåwå pêrlu arêp ngukum Prabu Kartånagårå. Ånå ing
pacêkan (Suråbåyå) prau Jåwå kalah, nuli bålå Cinå arêp nglurugi Dåhå,
kang dikirå panggonané Kârtånagårå (kang nalika iku wis sêdå).
Kacaritå Radèn
Wijåyå dhèk jaman samono wus wiwit mbalélå marang Jåyåkatwang ratu ing
Dåhå. Sarèhné duwé pangarêp-arêp biså ditulungi ing Cinå numpês ratu ing
Dåhå, mulané Radèn Wijåyå banjur gawé gêlar éthok- éthok arêp têluk
marang sénåpati Cinå.
Kâbênêran ora lêt
suwé Måjåpait, panggonané Radèn Wijåyå ditêmpuh ing wong Dåhå, Radèn
Wijåyå ântuk pitulungané wong Cinå biså mênang. Wasånå ing taun 1293
kuthå Dåhå dikêpung ing balané Shih Pih lan Radèn Wijåyå, Dåhå bêdhah,
ratuné kacêkel, pèni-pèni råjå pèni dijarah rayah, Radèn Wijåyå nulungi
putri-putri, putrané Prabu Kartånagårå digåwå oncat mênyang Måjåpait.
Ora antårå suwé,
margå sâkå akalé Wiråråjå, Radèn Wijåyå bisa ngusir prajurit Cinå.
Wondéné prajurit mau, sênadyan kêsusu-susu mêkså isih biså anggåwå
barang rayahan, pêngaji mas sâtêngah yutå tail lan tawanan wong satus
sâkå Dåhå.
Radèn Wijåyå banjur jumênêng Nåtå ing Måjåpait, jêjuluk Kêrtârêjåså Jåyåwardhånå utåwå Bråwijåyå I (taun 1294 – 1309).
Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk
menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat
diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing.
Pada tahun 1215C/1293M Raden Wijaya
membangun keraton baru di wilayah Trik, kemudian menyatakan berdirinya
sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta/Majapahit.
…
Mengenai peranan Arya Wiraraja dalam
membantu Raden Wiraraja menaklukkan Jayakatwang, mengusir tentara
Tartar, sampai tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap
dalam Pararaton. Kidung Panji Wijayakrama, kidung Ranggalawe dan Kidung
Harsawijaya.
Beberapa prasasti seperti Piagam Kedadu
(11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29 Otober 1295), menyebutkan
peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian Raden Wijaya ke Madura.
Pararaton mengabarkan:
Raden Wijaya menyeberang ke utara turun
perahu terhalang malam ditengah sawah di daerah perbatasan Songennep,
bermalam ditengah sawah yang baru saja habis disikat pematangnya.
Sembah Wiraraja: “Janganlah Tuanku khawatir hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan-lahan”, kata Raden Wijaya: “Bapa
Wiraraja, sangat besar utangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku,
akan kubagi dua tanah Jawa nanti, hendaknya kamu menikmati seperduanya,
saya seperdua”; Kata Wiraraja: “Bagaimana saja, Tuanku, asal Tuanku dapat menjadi raja saya.”
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja. Lama Raden Wijaya bertempat tinggal di Songennep (sebutan lain dari Sumenep).
Disitu Arya Wiraraja berkata: “Tuanku
hamba mengambil muslihat, hendaknyalah Tuan pergi menghamba kepada raja
Jayakatong, hendaknya Tuan seakan-akan minta maaf dengan kata-kata yang
mengandung arti tunduk; kalau sekiranya raja Jayakatong tak keberatan,
tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas-lekas pindah bertempat
tinggal di Dhaha, kalau rupa-rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan
mohon hutang orang terik kepada raja Jayakatong, hendaknyalah tuan
membuat desa disitu. Hamba-hamba Maduralah yang akan menebang hutan
untuk dijadikan desa, tempat hamba-hamba Madura yang menghadap tuanku
dekat.
Adapun maksud
tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat-lihat orang-orang
Jayakatong siapa yang setia, yang berani, sifat-sifat Kebo-Mundarang,
sesuadh itu semua dapat diukur hendaknyalah tuanku memohon diri pindah
ke hutan orang Terik yang sudah dirobah menjadi desa oleh hamba Madura
itu.”
Dalam Kidung Panji Wijayakrama peranan
Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya tidak ada perbedaan yang prinsip
jika dibandingkan dengan Pararaton.
Kidung Harsa Wijaya mengabarkan:
Atas nasehat sang
pertapa mereka (Raden Wijaya) menyebrang ke Madura untuk minta bantuan
Arya Wiraraja. Dan di Madura Raden Wijaya menentukan saat yang tepat,
untuk merencanakan kembalinya atau merebut kerajaannya.
Kepada Wiraraja ia berjanji akan memberikan separuh kerajaan atas jasa-jasanya dan bantuannya yang tidak terhingga.
Dari gambara-gambaran yang diceritakan oleh sumber-sumber diatas,
peranan Arya Wiraraja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan
tentaranya, jauh dibalik itu Wiraraja adalah seorang penganut strategis,
dan inspirator berdirinya kerajaan Majapahit.
Tepatlah kiranya apabila Ia disebut
sebagai aktor intelektualis. Penulis sejarah Majapahit tidak akan pernah
lepas dari peranan Arya Wiraraja serta orang-orang Madura awal
pendirinya.
…
Seseorang karena manusiawi, pastilah
memiliki kebaikan dan keburukan, kelebihan atau kekurangan. Dalam hal
ini dari “kebaikan atau kelebihan” keteladanan Arya Wiraraja dapat
dipelajari sejarahnya dan diperoleh hikmahnya.
1. Tahu membaca jaman,
Akibat kemahiran berdaya tebak tinggi (babatangan)
sehingga siapa orang yang akan memimpin negeri sebagai penguasa, maka
Arya Wiraraja mengikuti jejak ini, sehingga tindakannya mirip dengan
tindakan insan politik jaman kini. Bagi orang yang tidak mengikuti
“membaca jaman”, tindakan Arya Wiraraja ini akan dianggap sebagai
penghianatan.
Babatangan (Jawa; mbatang
= menebak, menerka), sering diterjemahkan sebagai juru ramal atau
semacam penasehat spiritual yang sebenarnya adalah seorang penasehat
ahli strategi (militer dan politik ketatanegaran) yang bisa membaca
situasi.
Kecemerlangan analisa-analisanya
menyebabkan orang mengira dia punya suatu kelebihan sebagai orang yang
bisa meramal kejadian-kejadian di masa yang akan datang.
Mengingat pendirian demikian, maka ia pastilah “anak jaman”, “Wongira” orang yang berkuasa/akan berkuasa. Hal ini terbukti :
- mengabdi kepada Kertanegara sebagai Adipati Songennep.
- mengingatkan Jayakatwang untuk menumbangkan Kertanegara, dan kawannya Empu Raganatha.
- memberikan perlindungan kepada Raden Wijaya dan menjanjikan untuk menolong jadi Raja.
- membujuk tentara Mongol/Tartar untuk bersama Raden Wijaya menumbangkan Jayakatwang.
- bersama Raden Wijaya menghancurkan tentara Mongol/Tartar
- memberikan puteranya menjadi korban pemberontakan terhadap Raden Wijaya. (Peristiwa Rangga Lawe).
- menjadi “Gubernur”Lumajang, dan dari sana membiarkan Nambi memberontak terhadap Raden Wijaya.
Pengabdian Arya Wiraraja adalah untuk
Kertanegara yang paling lama. Maka segala sepak terjang Kertanegara
dalam usahanya menyatukan Nusantara penaklukan Bali dan Melayu,
diketahuinya dengan pasti dan Arya Wiraraja merupakan bagian dari
penyatu tersebut.
Dimana saja ia bertugas, tanpa pandang
suku dan wilayah, dilaksanakannya dengan baik. Sejak di Singosari,
Songennep, Mojopahit, sampai di Lumajang, ia bekerja dengan baik,
sehingga ia di semua tempat tersebut dihormati dan dianggap sebagai
pemimpinnya.
3. Setia pada tugasnya.
Manifestasi kesetiaan Arya Wiraraja ini akan tugasnya tidak pernah menolak tugas. Ia dengan setia menempati pos kerjanya:
- sebagai “babatangan” ia berdomisili di Singasari.
- sebagai Adipati ia berdomisili di Songennep.
- sebagai “pelindung” ia secara aktif bekerja keras muwujudkan Majapahit.
- sebagai rakyat, sebagai mantri ia berdomisili di Majapahit.
4. Sebagai kuasa usaha Blambangan ia berdomisili di Lumajang akhir hayatnya.
Manifestasi kesetiaannya ini juga
tercermin dalam sikap diamnya ketika mengetahui puteranya Ranggalawe
dibunuh secara kejam ketika mengadakan pembangkangan terhadap Raden
Wijaya. Demikian pula terhadap Nambi yang melakukan dari Lumajang
sendiri.
Manifestasi sikap diam dan kesabarannya
ini merupakan kesetiaan yang tinggi pada jaman tersebut, yang tercermin
ketika pertama kalinya “dijauhkan” ke Songennep.
Kesetiaan yang menonjol lainnya ialah
ketika ia dengan rendah hati menolong Raden Wijaya yang terlunta-lunta
dengan menjanjikan untuk mengembalikannya sebagai raja.
5. Cerdik.
Kecerdikan Arya Wiraraja sangat nampak
ketika “menyutradarai” berdirinya kerajaan Majapahit dengan tokoh
sentral Raden Wijaya. Urutan sekenarionya adalah:
Agar Raden Wiraraja pura-pura menyerah
kepada Prabu Jayakatwang. Wiraraja kemudian mengirimkan surat dengan
utusan yang menyatakan bahwa Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi
kepada sang Prabu Jayakatwang.
Agar Raden Wijaya diterima sebagai pegawai istana.
Selama tinggal di istana agar menyelidiki kekuatan tentara Dhaha/ Kediri.
Bila kelak telah dipercaya, agar
mengajukan permohonan untuk membuka hutan Tarik. Dan tenaga akan di
kerahkan dari Madura. Apabila daerah Tarik telah siap, agar Raden Wijaya
pindah menetap disana.
Selanjutnya Raden Wijaya agar mencari
simpati orang-orang Tumapel dan menariknya untuk menetap di Trik. Orang
Madura akan dikerahkan ke Tarik sehingga perkampungan tersebut menjadi
kuat (menjadi Majapahit), dan siap untuk melawan Dhaha.
Aria Wiraraja menghubungi tentara
Tartar/Mongol untuk bersama menggempur Jayakatwang dengan janji akan
menganugerahi putra-putri keraton yang cantik.
Penghancuran tentara Jajakatwang oleh
tentara Tartar yang juga dibantu Raden Wijaya dan Wiraraja. Penyerahan
tentara keraton hendaknya diterima oleh pembesar tentara Tartar tanpa
senjata, karena putra-putri tersebut “alergi” terhadap senjata.
Penyerangan tentara Tartar yang tidak berdaya oleh Raden Wijaya bersama Wiraraja sampai kelaut.
Letak Trik
Sampai sekarang daerah yang memiliki
bukti-bukti besar bekas keraton agung Majapahit adalah Trowulan, daerah
yang terletak di ujung Selatan Kabupaten Mojokerto.
Namun apakah hutan Trik yang dibuka menjadi Desa Majapahit oleh Raden Wijaya adalah di Trowulan ini?
Baiklah mari kita analisa bersama-sama dengan melihat sumber-sumber sejarah yang ada dan takta-fakta yang berada di lapangan.
• Majapahit didirikan di atas tanah
yang dahulunya adalah hutan belantara milik orang Tarik berarti di
daerah yang minimal agak jauh dengan pemukiman penduduk kampung.
Lalu bagaimanakah Trowulan? Bila
syaratnya adalah tanah hutan yang agak jauh dari pemukiman penduduk pada
masa itu, jelas di daerah Trowulan tidak cocok bila memposisikan
Majapahit awal disana.
Hal ini berdasarkan di daerah sekitar
penemuan situs bekas Keraton di Trowulan adalah bekas pemukiman Kuno.
Bukti tentang hal tersebut sangatlah jelas yaitu ditemukannya Prasasti Alasanta
(Alasantan?) yang dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun
861Ç/939M. Prasasti tersebut memberikan informasi tentang pemberian
tanah sima Alasanta kepada Rakryan Kabayan, dan dihadiri oleh para rama
dari desa desa sekitar sebagai saksi pada peresmiannya.
Dari nama-nama desa yang tertera pada isi prasasti tidak ada yang menyebutkan daerah Trik. Kemudian Prasasti Kamban
yang di keluarkan oleh Şri Maharajâ Rakê Hino Şri Isyanawikrama Dyah
Matanggadewâ pada tahun 893Ç, ditemukan di dukuh Pelem, desa Temon,
kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto. yang meyebutkan bahwa apada
tanggal 19 Maret 941 M, Şri Maharajâ Rakê Hino Şri Isyanawikrama Dyah
Matanggadewâ meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.
Prasasti Alasantan ditemukan sekitar 45m barat daya Candi Brahu di wilayah desa Bejijong, sebelah utara desa Trowulan.
Alasantan yang dahulu lebih dikenal
sebagai nama wilayah dalam pemerintahan Majapahit, sekarang sudah
berubah menjadi desa Bejijong. Desa Bejijong dalam pemerintahan daerah
Kabupaten Mojokerto terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Bejijong dan
Dusun Kedungwulan.
Konon menurut ceritera orang-orang tua
atau tokoh masyarakat, Bejijong berasal dari kata “beji” yang berarti
“danau” dan “jong” atau “jung” berarti “perahu” sedangkan Kedungwulan
berasal dari kata “kedung” yang berarti “danau atau cekungan yang berisi
air” dan kata “wulan” yang berarti “bulan”.
Daerah itu kira-kira merupakan suatu
kawasan yang di dalamnya terdapat danau, atau situ atau bendungan yang
airnya melimpah, dan dari namanya dapat diperkirakan di tempat itu
sampai-sampai dapat dipergunakan untuk berperahu.
Dimungkinkan juga daerah itu merupakan
suatu situs kawasan ekonomis (zona ekonomis) sebagai tempat mangkalnya
perahu-perahu. Tentu kita berharap para ahli sejarah ataupun para
arkeolog suatu saat dapat menunjukkan legenda ini benar-benar terbukti
secara ilmiah sebagai kawasan yang potensial menunjang kebesaran
Kerajaan Majapahit.
Prasasti Alasantan menyebutkan
bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah
Sindok Sri Isyanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan
sima milik Rakryan Kabayan.
Pada lempengan III.9-12 prasasti ini disebutkan bahwa para rama dari desa-desa di sekitar Alasanta yang hadir sebagai saksi pada peresmiannya menjadi sima.
Berturut-turut disebutkan: rama ri
alasantan, rama ri lmah tulis, rama i skarbila, rama i lbuh runting,
rama i padanga, rama i tirim panda, rama ing lapan rupa dan rama i wulu
taj.
Penyebutan desa Lmah Tulis setelah desa
Alasanta itu mengindikasikan daerah tersebut saling berdekatan, faktanya
desa Kedungwulan yang (dahulu bernama Lmah tulis) terletak di desa
Bejijong, tempat penemuan Prasasti Alasanta.
Kemudian nama wanua i tangunan (III.3) masih bisa kita temukan di sebelah tenggara Trowulan sekarang.
Nama wahuta i pageruyung (III.8-9) sekarang ada di desa Pagerluyung sebelah utara Trowulan. Nama rama i padangan masih terdapat pada desa Padangan sebelah timur laut Trowulan.
Dari data-data di atas jelaslah bahwa
daerah Trowulan pada masa awal Majapahit adalah daerah yang cukup ramai
dikelilingi pemukiman penduduk sejak masa Mpu Sindok sampai sekarang.
Jadi identifikasi Trik di sekitar
Trowulan kurang tepat, apalagi tidak adanya informasi tentang kata Trik
dalam prasasti Alasanta.
Trowulan yang dahulu masuk daerah
Alasanta dan juga daerah Lmah Tulis pastinya ramai dikunjungi para
tokoh-tokoh dari Daha. Apalagi daerah Lmah Tulis (Lmah Citra) bila
dihubungkan dengan Tokoh Mpu Barada yang beragama Budha tentulah daerah
ini sangat terkenal atas jasa-jasa sang Mpu yang dahulu pernah membelah
Kerajaan raja Airlangga menjadi Panjalu dan Jenggala.
Candi Brahu, dan Candi Gentong di daerah
Bejijong yang bercorak agama Budha, menimbulkan penafsiran bahwa daerah
tersebut sejak masa Airlangga sampai Majapahit merupakan daerah
kebudhaan, maka pantaslah pertapa Baradha tinggal di sana.
• Sekilas Trowulan secara geografis
cukup menguntungkan bila dijadikan pusat ibu kota kerajaan Majapahit
yang menguasai Negara-negara di lima penjuru mata angin.
Lokasinya yang di tengah-tengah Jawa
bagian timur menjadikannya lebih mudah untuk mengawasi negara-negara
bawahan utamanya, seperti Daha, Tumapel, Canggu-Ujunggaluh, Madura dan
Tuban.
Sebagai tempat pertahanan dari serangan
luar Jawa memang pantas karena sebelum menuju ibu kota di Trowulan musuh
dari luar pasti mendarat di kota-kota pelabuhan yang telah dikuasainya.
Selanjutnya menuju benteng-benteng pertahanan yang berlapis di daerah-daerah panca ring wilwatikta sebelum akhirnya kepusat keraton Majapahit di Trowulan.
Namun bila Wiraraja seorang yang ahli
dalam strategi politik dan perang, maka penempatan Ibu kota kerajaan
pada awal pendiriannya di Trowulan tidak begitu menguntungkan. Selain
dekat dengan musuh utamanya di Kadiri daerah Trowulan juga cukup jauh
dengan kota pelabuhan yang dapat menghubungkan dengan daerah sekutunya
di Madura.
Kecuali daerah Canggu, Terung, dan
Kambang Sri dikuasai oleh Raden Wijaya, namun sesuai informasi dari
Prasasti Kudadu (1294 M) daerah-daerah tersebut telah di kuasai prajurit
Daha saat pelariannya ke Madura.
Hal ini menjadikan Trowulan sangat rawan
bila dijadikan basis pertahanan untuk pemberontakan terhadap Jayakatwang
di Kadiri. Selain itu jalur Kadiri-Penanggungan melewati Trowulan, di
mana “pusat sakral”, terutama dinasti Isyana ada di gunung leluhur
raja-raja Panjalu-Jenggala tersebut.
Bila Jayakatwang meruntuhkan Singasari
karena salah satu sebabnya ingin balas dendam ataupun bercita-cita luhur
mengembalikan kehormatan keluarga raja-raja Kadiri (Panjalu) yang
berakar dari dinasti Isyana, maka jelas daerah seperti Daha dan
Penanggungan adalah “daerah sakral” leluhur Jayakatwang yang tidak luput
dari pengawasan pasukannya.
• Kalau Trowulan bukan Trik, lalu
dimana sesungguhnya Trik berada? Bila kita buka peta Kab. Sidoarjo
sekarang maka pada ujung Baratnya terdapat Kecamatan Tarik. Kecamatan
ini berada antara perpecahan Sungai Mas yang menuju Canggu lalu
Ujunggaluh dan Sungai Porong. Toponimi nama Trik sekarang menjadi Tarik.
Namun cukup sulit untuk menemukan lokasi ibukota kerajaan Majapahit. Tulisan ibu Ingrit H.E Pojoh yang berjudul Medowo sebagai Kota Majapahit, dalam Berkala Arkeologi Edisi Khusus halaman 216-217 (1994) dapat menguak misteri tersebut, disebutkan bahwa:
Medowo adalah nama sebuah dukuh yang
terletak di delta sungai Brantas, kurang lebih 5 kilometer sebelah timur
percabangan sungai Brantas menjadi Sungai Mas (Surabaya) dan sungai
Porong. Mayoritas wilayah dukuh ini secara administratif termasuk dalam
wilayah desa Gampingrowo, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur.
Penelitian di Medowo dilakukan Balai
Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1986 memperlihatkan bahwa pada permukaan
tanah banyak ditemukan indikator desa sekaligus merupakan situs
arkeologi.
Tinggalan arkeologis tersebut antara lain tembikar, keramik, bata, genteng, sumur kuno, lumpang batu, dan batu calon prasasti.
Secara sederhana, situs ini
memperlihatkan ciri situs permukiman dari periode Hindu-Buda. Pengujian
lebih lanjut atas hasil penelitian pada situs Medowo yang luasnya
sekitar 400 meter ini menunjukkan bahwa:
- tembikar dari situs Medowo memperlihatkan ciri Majapahit seperti halnya tembikar Trowulan;
- keramik-keramik Cina berasal dari masa yang berasal antara abad ke-13 hingga 14 Masehi; dan
- analisis karbon (C14) menunjukkan masa antara 1202-1440 M.
Selain itu, temuan penggalian berupa
struktur bata juga memperlihatkan kesamaan ukuran bata, pola ikat bata,
dan kemiringan orientasi dengan struktur bata yang dijumpai di situs
Trowulan.
Dengan demikian, dapatlah situs Medowo
ini ditempatkan pada masa yang sama dengan Majapahit. Dengan melihat
persamaan artefak dan fiturnya, maka sangatlah jelas bahwa baik Medowo
maupun Trowulan adalah bekas sebuah permukiman kuno.
Persoalan baru muncul apabila
dipertanyakan apakah ada hubungan antara Medowo dengan Trowulan? Tentu
saja ada, Medowo adalah pemukiman kuno yang memiliki struktur hampir
sama dengan situs di Trowulan.
Bedanya situs Medowo di wilayah Trik sedang Trowulan jauh di pedalaman di daerah Alasanta dan Lmah Tulis.
Jadi bila dikorelasikan dengan sumber
sejarah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama maka lebih condong
melokasikan ibukota Kerajaan Majapahit yang dibangun Raden Wijaya ada di
daerah yang sekarang berada di Desa Gampingrowo Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo tersebut.
Ada beberapa alasan identifikasi daerah Tarik sebagai Trik ibu kota Majapahit awal:
1. Toponimi nama Tarik dengan Trik, dari
istilah tersebut jelas memiliki kemiripan, hanya saja istilah sekarang
ditambahi sisipan vokal ”a” menjadi”Tarik”. Jadi nama desa dan Kecamatan
Tarik adalah nama daerah yang dahulu di sebut Trik.
2. Lokasi desa Gampingrowo dengan desa
Tarik sekarang berjarak sekitar 4 km. Sekitar 6 km ke timur laut
terdapat Waringin Pitu (lokasi bendungan Waringin Sapta masa Airlangga),
sekitar 7,5 km kearah timur lokasi dukuh Kelagen desa Watutulis tempat
penemuan prasasti Kamalagyan (Masa Airlangga) dan bila 4 km kearah utara
terdapat desa Canggu di seberang sungai Brantas, sekarang masuk
Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.
Hal ini berbeda dengan situs Trowulan
dimana jarak situs Keraton Majapahit dengan situs masa sebelumnya sangat
dekat bahkan satu lokasi.
3. Kembali pada tokoh Wiraraja sebagai
ahli strategi. Dilihat dari letak geografisnya jelas sekali desa
Gampingrowo sangatlah strategis sebagai tempat konsolidasi.
Selain dahulu hutan belantara, namun
tidak jauh pula dengan urat nadi perekonomian kerajaan-kerajaan
pedalaman terdahulunya, seperti Singasari, Panjalu-Jenggala dan Dinasti
Isyana, yaitu dekat dengan Pelabuhan Canggu, bendungan Waringin Sapta
dan Muara sungai Brantas Ujunggaluh-Rembang juga Sungai Porong.
Selain jauh dari pusat ibukota
Dahanapura, dan tersembunyi di sekitar hutan orang Trik, dengan leluasa
pasukan baru majapahit mengembangkan kekuatannya yang berasal dari
Madura dan Tumapel.
Terlebih dahulu mereka bisa menguasai
daerah sekitar Trik seperti Ujunggaluh, Canggu dan semua delta Brantas,
maka hal ini akan melumpuhkan sendi perekonomian kerajaan Jayakatwang di
Daha.
Dari sinilah kita dapat melihat kecemerlangan strategi tokoh Wiraraja, khususnya dalam melumpuhkan kerajaan Jayakatwang di Daha.
4. Pelabuhan Canggu berada di sebelah
utara daerah Trik, hal ini sangat menguntungkan, karena pendiri
pelabuhan dan sekaligus benteng Canggu adalah Raja Sminingrat atau
Wisnuwardhana ayah dari raja Kertanegara raja besar Singasari.
Menurut Prasasti Canggu, Raja Sminingrat atau Wisnuwardhana yang membangun kutha Canggu.
Bhatara Wisnuwardhana angadegaken kutha ring Canggu lor isaka 1193.
[Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di Canggu sebelah utara pada tahun 1193Ç].
Walau bagaimanapun pejabat-pejabat
benteng sekaligus pelabuhan Canggu memiliki utang budi terhadap
keturunan dan keluarga Raja Wisnuwardhana. Dalam Prasarsti Kudadu pun
dijelaskan pada waktu Raden Wijaya dalam pelarian dari kejaran pasukan
Jayakatwang, beliau berniat mencari suaka ke desa Terung dan sekitarnya.
Hal ini dikarenakan akuwu Rakriyan Wuru
Agraja, yang diangkat sebagai akuwu oleh mendiang Sri Kertanegara,
dengan harapan memperoleh bantuan darinya untuk mengerahkan penduduk
daerah timur dan timur laut Terung.
Dari sini kita ketahui bahwa di daerah
delta Brantas masih banyak kepala-kepala daerah yang memiliki hutang
budi dengan keluarga Singasari. Hal ini pulalah yang di jadikan alasan
penempatan ibukota di Trik yang berada di antara percabangan sungai
Brantas (S. Mas dan S. Porong).
5. Pelokasian beberapa tokoh sejarawan
bahwa Trowulan dahulu termasuk wilayah Trik kurang dapat diterima. Hal
ini berlandaskan antara Trowulan dengan Trik selain cukup jauh juga
tanahnya terbelah oleh Sungai besar Brantas.
Kebiasan orang dahulu, batas suatu daerah
adalah alam, seperti hutan, bukit dan Sungai. Bila Trowulan wilayah
Trik maka dimanakah nama daerah Alasanta dan Lmah tulis berada?
Bila nama daerah sekaliber Alasanta dan
Lmah Tulis tidak di kenal, maka sebesar apakah daerah Trik dalam
pengukiran sejarah kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit?
Apakah desa Alasanta tempat prasasti Mpu
Sindok dan Lmah Tulis tempat Mpu Barada termasuk wilayah Trik? Hal ini
kurang dapat diterima, karena daerah situs Trowulan dahulu lebih
terkenal nama-nama desa yang tertera dalam prasasti Alasanta dan Negara
Kretagama, tanpa adanya nama Trik.
6. Dari beberapa alasan tersebut maka Situs Medowo, desa Gampingrowo, Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo,
dapat diidentifikasi sebagai bukti bekas lokasi ibu kota kerajaan
Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya antara tahun
1214-1215Ç/1292-1293M.
7. Wilayah ibukota kerajaan Majapahit
diduga meliputi (sekarang) Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di
Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di
Kabupaten Jombang.
Kawasan ini berada pada luas 10 X 10
kilometer persegi, namun, ada versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer
persegi. Pusat kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya
kini berada di Trowulan.
Situs-situs yang memperkuat ilustrasi
pusat kota ini antara lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah,
tempat kediaman Gajah Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat
pemandian para putri kerajaan.